SEORANG IBU DARI SUNGAI NIL
Lahir pada tanggal 27 September 1887,
Lillian Trasher besar di Brunswick, Georgia. Suatu hari, saat masih
gadis, dia berlutut di dekat sebuah batang kayu yang roboh di hutan.
"Tuhan," doanya, "jika ada yang bisa aku lakukan untuk-Mu,
beritahukanlah kepadaku dan aku akan melakukannya."
Allah
memiliki sebuah rencana. Pada tahun-tahun berikutnya, seorang wanita
yang bernama Miss Perry meminta Lillian bekerja untuknya di sebuah panti
asuhan. Hal ini menuntunnya masuk ke Institut Pelatihan Elhanah
(Elhanah Training Institute). Di sana, ia belajar bagaimana merawat
bayi, memasak, dan menjahit. Banyak anak kecil dirawatnya, dan di
institut inilah ia belajar memercayai Allah akan kebutuhan hidupnya.
Pada waktu itu, Allah menjawab doa-doanya sewaktu kecil, tetapi ia tidak
menyadarinya.
Ia tidak memiliki uang dan merendahkan dirinya
dengan memakai sepasang sepatu pria yang sudah lama. Ia juga bertemu
seorang pria muda yang hebat dan dalam sepuluh hari, mereka berencana
untuk menikah.
Lillian merasakan adanya panggilan ke ladang misi,
tetapi dengan pernikahannya yang tinggal sepuluh hari lagi, itu
tampaknya mustahil. Hingga suatu ketika ia pergi dengan Miss Perry untuk
mendengarkan seorang misionaris dari India. Khotbahnya menyentuhnya
begitu dalam sehingga dia menangis sepanjang perjalanan pulang.
Miss
Perry bertanya kepadanya ada masalah apa, dan Lillian memberitahukan
kepadanya bahwa Allah baru saja menyuruhnya ke Afrika dan bahwa dia akan
menikah sepuluh hari lagi. Semuanya terlihat mustahil.
Karena
menyadari bahwa menaati Allah lebih penting daripada menikah, ia
mengumpulkan beberapa barang kepunyaannya dan bersiap-siap berangkat ke
ladang misi. Ia percaya Allah akan menyediakan jalan ke Afrika -- dan
memang benar. Lillian dan adiknya, Jenny, sedang dalam perjalanan mereka
ke Afrika beberapa waktu kemudian. Akan tetapi, Lillian membutuhkan
janji dari Allah. Ia membuka Alkitabnya dan membaca kalimat ini, "Aku
telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir
dan Aku telah mendengar keluh kesah mereka, dan Aku telah turun untuk
melepaskan mereka; karena itu marilah, engkau akan Kuutus ke tanah
Mesir." Benar-benar ke Mesir!
Dalam perjalanan menyusuri sungai
dengan perahu, bagi Lillian, Mesir tampak seperti tempat yang terindah
di dunia. Namun, beberapa saat kemudian, ia melihat anak-anak
gelandangan yang kotor dan berpakaian compang-camping, anak-anak yang
tidak diinginkan oleh siapa pun.
Suatu malam, seorang pria
mengetuk pintu mereka dan bertanya kepada kedua saudari itu untuk datang
dan berdoa bagi istrinya yang sakit. Mereka terkejut ketika masuk ke
dalam rumah dan melihat seorang bayi sedang minum susu berwarna hijau
yang berserabut dari sebuah kaleng timah. Baunya memberi isyarat kepada
mereka bahwa bayi tersebut mungkin tidak pernah dimandikan. Sebelum
ibunya meninggal, ia memberikan bayinya kepada Lillian dan Jenny, tetapi
bayi perempuan itu tidak pernah berhenti menangis. Misionaris yang lain
meminta mereka mengembalikan bayi perempuan tersebut dari asalnya.
Lillian ketakutan. Ia seharusnya mematuhi mereka yang bertanggung jawab
atasnya, tetapi ia tidak bisa melakukannya.
Lillian memutuskan bahwa ia akan mengembalikan bayi itu, tetapi ia juga akan tinggal bersamanya.
"Apa?"
atasannya terkejut. "Seorang wanita lajang hidup bersama orang Arab?
Jangan begitu bodoh, Lillian. Kau akan mati kelaparan, bahkan mungkin
dibunuh."
Lillian adalah seorang wanita yang gemuk, berambut
cokelat, dan bersuara bagaikan petir, "Saya yakin. Allah akan memelihara
kami."
Setelah menyewa sebuah rumah kecil dan beberapa
perabotan, ia tidak memiliki uang lagi. Dewan misi tidak memberinya
apa-apa dan dengan saudarinya ia kembali ke Amerika, ia harus mengemis.
Ia hanya mendapatkan uang yang cukup untuk makan sehari -- tiga puluh
lima sen. Meski begitu, orang-orang masih memberikan bayi-bayi kepada
mereka. Lillian mengambil mereka dan merawat mereka sebisa mungkin.
Akan
tetapi, terkadang ia mengalami masalah yang begitu buruk. Pernah suatu
kali, ia tidak bisa kembali kepada anak-anak dan harus bermalam di sel
penjara dengan seekor keledai. Namun, Lillian merasa bahwa jika seekor
keledai saja sudah cukup baik bagi Yesus, hal itu sudah cukup baik
baginya.
Akhirnya, orang-orang mulai mengirimkan bertumpuk-tumpuk
pakaian kepadanya dan terkadang uang. Para tetangganya yang adalah
orang Mesir juga membantu. Ia menceritakan kepada mereka tentang kuasa
Allah untuk menyelamatkan mereka dari dosa.
Ketika bayi-bayi itu
terus berdatangan, Lillian mengatakan kepada Allah bahwa ia akan merawat
mereka, tetapi Dia harus memberinya uang. Lord MacLay dari Skotlandia
datang ke panti asuhannya dan memberinya 100 dollar. Selanjutnya, dengan
merasa bersalah bahwa ia tidak memberi cukup banyak, kemudian ia
memberikan 5000 dollar. Kemudian, 20.000 dollar.
Lillian
membatalkan pernikahannya karena ia jauh lebih mengasihi Yesus. Sering
kali, ia tidak pernah tahu dari mana makanan berikutnya akan datang.
Akan tetapi, Lillian Trasher bahagia dan tidak pernah menoleh ke
belakang, pada apa yang mungkin ia dapatkan. Hari ini, bertahun-tahun
setelah kematiannya, panti asuhannya masih menjadi salah satu panti
asuhan terbesar di dunia.
"Dan setiap orang yang karena nama-Ku
meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan,
bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali
seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal." (Matius 19:29)
(t/Odysius)
Diterjemahkan dari:
Judul buku: Missionary Stories from Around the World
Judul asli artikel: Mother of the Nile
Penulis: Betty Swinford
Penerbit: Christian Focus Publications, Denmark
Halaman: 81 -- 87
POKOK DOA
1.
Mari berdoa kepada Tuhan Yesus untuk usaha pekabaran Injil di Benua
Afrika. Kiranya Tuhan membuka jalan untuk penyebaran Injil di sana dan
melembutkan hati penduduk Afrika untuk menerima Injil Yesus Kristus.
2.
Mari berdoa kepada Tuhan Yesus untuk para pekerja misi di Afrika.
Kiranya Tuhan yang meneguhkan panggilannya dan memberikan kekuatan dalam
mengabarkan Injil di Afrika.
3. Mari berdoa kepada Tuhan Yesus
untuk anak-anak kecil di Afrika yang kekurangan gizi. Kiranya Tuhan akan
menggerakkan pemerintah dan instansi terkait untuk semakin peduli pada
keadaan anak-anak di Benua Afrika.
"Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya." (1 Korintus 9:23)
No comments:
Post a Comment